“Kita gak akan pernah tau arti seseorang dalam
hidup kita sampai kita kehilangan orang tersebut" – Anonim
Pernah denger kalimat di atas ? ya, kalimat
diatas adalah kalimat klise yang sering banget kita denger dan bahkan udah
bukan hal yang aneh kalo kita nemuin kalimat di atas dalam salah satu quotes
berbentuk foto, entah itu foto di BBM, quotes di Instagram, path atau media
sosial lain. Berbicara masalah kehilangan mungkin banyak orang yang bisa
berbicara dan menulis dengan bijak tetang arti kehilangan tapi percayalah tanpa
benar-benar mereka merasakan rasanya kehilang, hal itu tidak akan lebih dari
sebuah rangkaian kata
Bagi mereka yang pernah kehilangan sesuatu yang
amat dicintai, kehilangan adalah sebuah peristiwa besar sekaligus mimpi buruk
yang seolah datang di siang bolong. Begitu menghantam, mengejutkan, menyayat
hati, tidak terduga, secara tiba-tiba dan meninggalkan luka yang begitu
mendalam hingga menghunus ke ulu hati.
Satu tahun yang lalu, sebuah peristiwa yang pada
akhirnya membawa ku masuk kedalam sisi kehidupan yang lain, keluar dari zona
nyaman dan hidup lebih keras dari sebelumnya. Ya...aku tau. Amat sangat tau.
Jika kamu bertanya setiap detail nya, aku akan bisa menjawab bahkan menceritakan
sampai setiap detik yang membawa aku menjadi lebih mengerti tentang arti
kehilangan. Satu tahun yang lalu tepat pada hari Jumat 17 Januari 2014, aku
kehilangan sosok yang amat sangat aku cintai. Dia yang begitu menyayangi aku
dengan tulus, menjaga aku dengan sepenuh hati dan selalu menggap aku adalah gadis
kecilnya bahkan hingga detik-detik
terakir hembusan nafasnya. Papa. Sebut saja dia papa, bukan, dia bukan sekedar
Papa biasa. Dia Papa. Sosok yang mengajari aku banyak hal, mengajarkan aku cara
berjuang dan berusaha juga memberi aku makna tentang hidup dan kehilangan,
bahwasanya hidup bukan Cuma tentang bersama dan tertawa tapi bagaimana cara
kita menyikapi kehilangan bahkan kematian lalu melanjutkan hidup dengan
sisa-sisa potongan kenangan yang membawa luka.
Sepuluh taun lamanya, hari itu adalah tahun 2004
ketika aku masih duduk di bangku sekolah dasar kelas 4 SD. Masih sangat
teringat jelas, aku pulang sekolah dengan memakai baju putih merah, membawa tas
gendong bergambar teddy bear warna pink. Sesampainya dirumah aku melihat papa
sedang bermain computer dengan salah satu kaki yang di selonjorkan. Agak heran,
kenapa papa pulang cepat ? terlihat kaki papa yang di perban bekas jaitan
karena luka yang entah kapan tepatnya. Hari itu adalah hari yang membawa aku
akirnya tau bahwa papa mengidap penyakit diabetes mellitus. Penyakit ini
merupakan penyakit gula darah biasanya adalah genetic dan benar saja, penyakit itu
merupakan turunan dari orang tua papa terdahulu. Alm nenek.
Sejak tahun 2004, kondisi papa berubah drastis,
mengetahui papa mengidap penyakit diabetes membuat kami sekeluarga merasa sedih
dan terpukul. Kondisi papa yang terus menurun, fisik papa yang berubah dari
yang tinggi besar agak gemuk menjadi kurus dan semakin kurus. Kami sekeluarga
mensupport papa, kami merubah pola makan bersama-sama dengan tujuan agar lebih
sehat sekaligus menemani papa yang memang tidak lagi makan nasi menjadi
kentang. Papa yang sejak 2004 mengidap penyakit diabetes mellitus tidak menyerah
bahkan tidak pernah sekalipun papa mengeluh tentang penyakitnya. Papa yang
berpenglihatan jelas menjadi rabun dekat secara tiba-tiba, sehingga tidak lagi
bisa menyetir mobil sendiri karena dikhawatirkan akan mengalami kesulitan saat
berkendara. Ah itu hanya hal kecil bagi kami saat itu, sehingga kami mengewa
jasa supir untuk mengantar jemput kemanapun papa pergi bertugas.
Papa adalah sosok laki-laki yang tegas, namun
penyayang.
Papa adalah sosok laki-laki yang tidak pernah
banyak bicara, namun dia tau apa yang keluarganya rasakan dan butuhkan.
Papa sosok pekerja keras, namun royal
Papa sosok yang tumbuh dari seorang petani dan
istrinya, yang tumbuh menjadi anak pertama dengan banyak adik yang harus
dibiayayai sehingga papa tumbuh menjadi sosok yang mandiri dan jadi panutan
dalam keluarga kecil kami.
Sepuluh taun berlalu dari tahun 2004 hingga 2014
banyak sekali perubahan pada papa, ya…apalagi kalo bukan fisik dan kondisi yang
terus menurun. Ah , papa tapi tidak pernah sekalipun papa terlihat sakit. Masa-masa
kecil aku bersama papa dalam keluarga kecil kami yaitu aku, Papa, Mama, dan
seorang adik perempuan ku yang terpaut 5 tahun lebih muda dari aku amat sangat
menyenangkan. Aku tumbuh dalam keluarga yang amat sangat berkecukupan, tumbuh
dalam keluarga kecil yang bahagia dimana aku punya orang-orang yang menyayangi
aku dengan sepenuh jiwanya. Seorang Mama yang cantik dan penyayang, Papa yang
kuat pekerja keras dan pelindung keluarga juga adik perempuan cantik yang lucu.
Lengkap rasanya. Masa sekolah aku pun rasanya begitu indah, pergi sekolah di
sekolah yang terfavorit di kotaku, bergaul dengan teman-teman yang baik, uang
jajan yang lebih dari cukup serta segala macam fasilitas yang tidak pernah
ketinggalan diberikan oleh Papa. Aku tidak pernah meminta, namun sekali Papa
adalah sosok laki-laki yang tidak pernah banyak Tanya dan banyak nawar dia
selalu ingin anaknya mendapatkan yang baik dan tumbuh dengan tanpa kekurangan.
Hingga akhirnya aku berusia 19 taun pada tahun 2014 dan aku tumbuh sebagai anak
gadis papa yang beranjak dewasa dan sudah duduk dibangku kuliah.
Bandung. Adalah kota kelahiran papa sehingga
papa menginginkan anaknya untuk kuliah di bandung agar tidak terlalu jauh dari
purwakarta. Rumah keluargaku. Rumah kami. Awal-awal masa perkuliahan di Bandung
Papa adalah orang yang amat memperhatikan anaknya begitupun Mama. Meskipun
kelihatan nya papa adalah orang yang cuek namun papa tidak pernah melepas anak
gadisnya begitu saja. Papa adalah seseorang bibalik telefn mama yang setiap
kali bordering ketika aku pulang terlambat. Papa adalah orang yang selalu setia
menunggu hingga tertidur di sofa ruang tamu ketika aku pulang telat pada malam
minggu. Papa adalah orang yang diam-diam menceritakan aku dengan bangga kepada
teman kantor nya bahawa aku adalah anak yang berprestasi dari kecil hingga
kuliah dan aku baru tau itu. Papa yang selalu menyempatkan sesibuk apapun untuk
mengantar atau menjemput anaknya dari Bandung. Ah papa andai papa lihat aku,
hari ini aku duduk memutar kembali memori dan menceritakan semua kenangan
tentang papa sambil sesekali mengusap tiap butir air yang jatuh di pipi :’)
Mimpi buruk yang akhirnya membawa kami
sekeluarga pada kehilangan terbesar bermula dari November tahun 2014 lalu.
Kondisi papa yang menurun, papa yang tidak pernah ingin membuat khawatir
keluarganya tidak pernah mau untuk di ajak check up. Namun sering kali aku dan
mama menerima laporan dari supir papa namanya A iki, dia bilang “bu tadi bapak
jatoh. Pingsan pas lagi tugas di pertamina Cikarang tapi jangan bilang bapak
iki cerita”. A iki, dia supir yang setia menemani papa, sudah seperti keluarga
sendiri bahkan sudah seperti asisten papa karena sebagian besar tugas papa
selalu si antar a iki. Semakin sering menerima cerita dari a iki tentang papa
yang tiba-tiba pingsan, tiba-tiba tersedak sampai tidak bias nafas, papa yang
kesakitan pada bagian pinggang dan masih banyak lagi. Ah ..papa :”
November adalah awal dari semakin menurun nya
kondisi papa, tepat pada akhir November 2013 lalu papa sakit tapi tetap pergi
kerja keluar kota dan gak mau dibawa ke dokter. Masih sangat teringat jelas
waktu mama menyuruh aku untuk memaksa papa pergi ke rumah sakit. AKu yang saat
itu masih ada di Bandung hanya bias menghubungi Papa via sms.
Aku : “ papa dimana ? pulangnya ke dokter ya”
Papa: “ papa masih di bekasi, iya nanti kalau
sempat”
Aku : “Papa ke dokter ya ! Teteh gak mau papa
sakit. Teteh sayang papa :”) “
Papa: “ Iya, papa juga sayang teteh dan vinta”
Kata-kata diatas adalah perintah agar papa mau
pergi ke dokter karena papa hanya akan nurut ketika anak nya yang nyuruh dan
turuntangan langsung, sekaligus menjadi sms aku dan papa yang terakhir. Iya.
Terakhir.
Hari itu hari sabtu, di bulan November 2013.
Sore hari, hujan dibarengi dengan petir bahkan banjir untuk wilayah tamansari
Bandung. Mama telfon kalo papa udah masuk rumah sakit tadi sore tapi aku harus
sepet pulang ke purwakarta. Pulang kampus masih dengan baju yang sama yang
dipakai ke kampus, dengan memkai parka warna biru dongker aku langsung pulang
ke purwakarta dengan memakai travel. Antrian yang panjang, hujan yang deras,
petir yang sesekali menggetarkan jendela menambah kesan menakutkan dan panik
yang sedang saat itu aku rasakan. Sesampainya di purwakarta di tempat
pemberhentian travel, aku langsung dijemput dengan mobil yang sangat familiar
yang sudah aku kenal dengan baik Freed abu-abu dengan nomor plisi D 1144 TI
dengan dikendarai oleh a Iki.
A Iki : “ hayu the langsung aja ke rumah sakit”
Aku : “iya hayu a, ai si papah kapan masuk ?”
A iki : “ tadi sekitar siangan lah teh. Ini juga
harus dirujuk ke bandung katanya”
Aku : “ oooh…”
Sesampainya di rumah sakit aku menaiki lift ke
lantai atas dengan nomor kamar 8001VIP. Hening. Didalam ada mama, vinta adik
aku, Papa yang terbaring dengan selang oksigen dan om Nana adik mama. Mama yang
bermata sembab. Saat itu aku menemui papa dan langsung memeluk papa yang sedang
terbaring dengan infuse di kanan dan kiri tangan nya serta selang oksigen
pernapasan.
Aku : “ papa kenapa, jangan sakit harus sembuh”
Papa: “ enggak ..(terdiam sejenak dengan suara
parau, aku tau mama nangis). Papa gak sakit. Cuma kecapekan aja . (saat itu
tangan nya memeluk aku dengan selang-selang infuse yang ikut memeluk aku) “
Aku : “ Papa gak boleh sakit teteh sayang papa”
Papa : “ Iya papa juga sayang teteh”
Lalu kami berdua terdiam masih dalam pelukan,
sambil sesekali terdengar suara isak tertahan dari mama dan om nana. Beberapa
jam kemudian setelah papa tertidur, dengan berbisik mama memanggil aku untuk
bicara di salah satu sisi kamar yang terdapat tempat tidur untuk yang menjaga
pasien, masih sangat jelas apa yang mama katakana dan menjadi pukulan besar
yang meretakan hati.
Mama : “ besok papa harus di rujuk ke Santosa
Internasional hospital Bandung”
Aku : “ Kenapa ?”
Mama: “ Mama dikasih tau dokter, penyakit papa
udah komplikasi dari gula darahnya, jantungnya udah kerendem air separuh jadi
harus dikeluarin airnya. Ginjal papa juga dua-duanya udah gak berfungsi bai,
Cuma tinggal 30% lagi”
AKu : (diam, nangis)
Gak tau lagi apa yang harus aku lakuin, seketika
itu yang ada di pikiran aku adalah aku rela mati, aku rela donorin jantung dan
ginjal aku semuanya buat papa. SEMUANYA. Coba bilang ? anak mana yang rela
orang tuanya menderita ? tapi sayang prosedur media tidak semudah itu.
Masih di hari yang sama, satu persatu tamu
berdatangan. Bucket bucket bunga yang bagus dengan berbagai macam wangi dan
bentuk bertumpuk di salah satu sudut ruangan, parcel parcel makanan yang sudah
berjajar di bawah lantai meja dapur kamar rawat inap papa, sebagala macam
makanan dan bingkisan penuh bertumpuk di ruangan dari semua yang dating
menjenguk papa. Sesekali papa terbangun dan mengobrol dengan orang yang
menjenguk. Salah satu tamu yang waktu itu menjenguk papa dan masih sangat jelas
teringat obrolannya adalah Pak Hendra dan istrinya yang dating dengan membawqa
parcel makanan dan sekaleng besar marie regall.
Pak Hendra : “ayo lah sembuh, liat itu anak kau
cw semua. Harus liat mereka nikah. Timang cucu”
Papa : “ hehe iya amin “
Besok nya sekitar subuh jam 4 pagi kita
sama-sama berangkat ke bandung. Sesuai permintaan papa, papa gak mau naik
ambulance. Papa mau berangkat satu mobil bareng aku, Mama, vinta. Dengan
persiapan lengkap, tabung oksigen yang kita beli sendiri, infusan yang masih
menancap di kedua tangan papa dan dikendarai oleh a iki, kami semua berangkat
ke Siloam Internasional Hospital Bandung. Papa duduk di Kursi kursi penumpang
yang kedua dengan posisi tempat duduk yang agak di senderkan kebelakang dengan
kepala diganjal oleh bantal. Sesekali napas papa terdengar berat tapi tidak
sedikitpun papa mengeluh. Papa hanya diam menikmati perjalanan dalam diam.
Sesampainya di Santosa papa langsung masuk ke
kamar nomor 805. Saat itu adalah saat saat terberat buat aku, aku yang harus
membagi waktu antara kuliah dan bergantian menjaga papa di rumah sakit dengan
mama. Menjaga papa kalau kalu tengah malam sesekali papa memanggil aku untu
mengambilkan pispot atau ketika tiba-tiba napasnya tersedak dan kesulitan untuk
bernapas.
Satu bulan lamanya papa di rawat di rumah sakit,
namun dasar papa dai masih tetap saja memeriksa kerjaan yang seabrek dan sibuk
menandatangani buku tera salah satu prusahaan taxi yang di awas papa. Akirnya
aku bilang sama papa untuk membantu tugas papa dan menandatangani buku buku
tera yang seabrek membantu papa. Sebulan lamanya papa di rawat di rumah sakit,
papa menjalani proses cuci darah yang amat melelahkan buat papa. Proses yang
begitu menyakitkan dan membuat badan papa melemah. Namun apa boleh buat Cuma cuci
darah yang saat itu bias menggantikan fungsi ginjal papa yang kedua nya rusak.
Ya, sekali lagi saat itu aku menangis dan berharap agar papa cepat dapat donor
ginjal. Papa yang memaksa terus untuk pulang meskipun kondisinya melemah
akirnya membuat dokter memperbolehkan papa untuk pulang kerumah dengan catatan
tidak boleh capek, harus cuci darah, dan punya cadangan tabung oksigen. Sekitar
seminggu papa pulang dari rumah sakit, papa malah kembali bekerja. Di malam
harinya papa kembali sesak napas dan tersiksa karena tidak boleh banyak minum
air karena ginjalnya yang rusak. Selama satu minggu kepulangan papa dari rumah
sakit di kantor ternyata papa mengajak semua orang-orang kantor dan menemui
orang-orang kantor papa. Disana papa minta maaf sama semua orang-orang kantor
mulai dari staff sampe ke tukang gorengan di depan kantor papa. Kalo diliat dan
diinget inget lagi, mungkin saat itu papa udah punya firasat bakalan pergi buat
selamanya makanya papa pamit dulu sama sedmua orang-orang kantor. Selama satu
minggu kondisi papa gak seburuk waktu di rumah sakit, papa masih bisa pergi
kerja walaupun udah dilarang mama. Di pengujung satu minggu peulangan papa ke
rumah, kondisi papa drop secara drastic dan kembali di rawat di rumah sakit
Santosa Bandung. Tapi dengan kamar yang berbeda di 808.
Kembali masuknya papa ke rumah sakit sekitar
pertengahan Desember taun 2013. Lebih buruknya adalah kondisi papa jauh semakin
membururk. Papa yang semakin kurus, badan nya melemah dan dingin, Obat yang
harus papa minum sangat banyak, papa yang HANYA diperbolehkan minum satu gelas
dalam sehari karena ginjalnya rusak. (Ah papa, seandainya sekarang papa masih
ada ).
Papa yang sering kehilangan kesadaran, kata
dokter hal ini adalah efek dari racun yang gak bias lagi di handle sama
ginjalnya akibatnya racun nya naik ke otak dan bikin papa hilang memori secara
perlahan. Papa yang waktu itu sempet pendarahan di kasur rumah sakit tapi
matanya kosong dan gak bisa ngucapin kata apa-apa dan Cuma netesin air mata
waktu aku, mama dan perwat ngebersihin semua darah yang ada. Sekali lagi,
papa..teteh kangen~
Hari itu lain dari biasanya, tanggal 31 Desember
taun 2013, aku mama papa vinta dan a iki yang selalu setia nemenin papa, kita
semua kumpul dan ngaji bareng-bareng malem hari nya. Hari itu adalah tepat malam
pergantian taun, papa sempet ngeliatin aku dan adik aku yang saat itu kita Cuma
bias menikmati malam pergantian tahun dengan ngeliat keiindahan kota bandung
dan kembang api nya dari lantai 8 kamar rawat inap rumah sakit Santosa Bandung.
Ternyata hari itu adalah hari terakhir atau malam pergantian taun terakir yang
kami lewatin bersama.
Firasat dan mimpi-mimpi buruk , serta melihat
kondisi papa yang semakin menurun bikin aku ngerti betapa berharganya waktu
yang tersissa dari papa buat kami. Aku gak pernah nyia-nyiain waktu buat kumpul
bareng kluarga meskipun hanya di rumah sakit tapi waktu bersama keluarga
bakalan punya harga yang amat sangat mahal bahkan gak terhingga kalo mesti aku
lewatin gitu aja. Bulan desember bergantu jadi bulan januari 2014. Papa masih
di rumah sakit. Satu minggu lebih papa di rumah sakit, keadaan aku yang waktu
itu lagi UAS mengharuskan aku buat bolak-balik dan bawa baju dari rumah sakit
ke kampus, harus bawa cucian baju mama dan vinta ke londry-an kosan dan balik
lagi ke rmh sakit. Harus beliin papa pampers boak balik sendirian ke rumah
sakit. Semua demi papa. Semua demi waktu. Semua demi kebersamaan yang gak akan
pernah mau aku lewatin. Setiap hari setiap malem Cuma lantunan doa yang bias
aku kasih buat papa, aku bawa kursi aku taro di sebelah tempat tidur papa dan
aku bacain papa yasin secara bergantian kalo mama aku tidur. Gak pernah
terbayang sebelumnya kalo genggaman tangan papa saat itu adalah genggaman
tangan dari orang yang sama yang 19 taun lalu masih dengan penuh cinta dan
kasih menggendong dan menggenggam tangan mungil aku, dan sekarang semua berubah
ketika tangan papa hanya bias terkulai lemah di sisi tubuhnya, aku yang kini
harus berganti menggenggam tangan papa, mensupport papa dan menunjukan kalo
peduli dan aku mau papa bangkit , mentransfer cinta dari tiap-tiap remasan di
tangan papa yang aku genggam. Salam satu bukti cinta seorang anak yang hanya bisa
aku lakukan saat itu. Ada yang aneh dari dua minggu terakir papa di rumah
sakit, suhu tubuh papa semakin dingin, papa perlahan kehilangan kesadaran tiap
kali selesai cuci darah. Papa yang mulai lupa nama orang-orang yang dating
menjenguuk tp papa yang berusaha dengan keras buat memejamkan mata dan kemudian
mengingat dan menyebut nama aku, mama dan vinta ketika ditanya. Ya , aku tau
pa. papa gak akan mau nyerah sama penyakit gitu aja sampe lupa sama aku, mama
dan vinta.
Cuci darah papa yang kesekian kalinya bikin papa
drop dan lupa semuanya. Malam itu selesai cuci darah papa bangun dari tidurnya.
Papa menggumam kata yang gak terdengar dengan jelas tapi berusaha buat ngomong
dan ngegerakin tangan nya.
Iya, saat itu papa ternyata manggil mama. Papa
pengen mama tidur di sebelah papa. Papa ngasih isyarat nepuk-nepuk sisi tempat
tidur dengan tangan supaya mama tidur di sebelah papa. Akirnya mama tidur di
sebelah papa dengan mata sembab dan sesekali keluar air mata. Papa pengen di
usapin sama mama. Dengan susah payah papa ngegerakin tangannya dan ngelepas
cincin kawin di jari manis tangan papa dan di kasihin ke mama suruh di pake,
dengan mata sembab dan air mata mama nurutin apa kata papa dengan make cincin
kawin papa di jari mama, ternyata papa pengen mama nyimpen cincin kawin nya.
Mungkin ini salah satu isyarat papa kali papa mau ninggalin mama :’)
Mama nanya, “papa inget mama gak ? coba papa
liat ini siapa ? “ mama manggil aku dan ade aku. Mama bilang “ iyah inget,
teteh .. “ . Saat itu vinta adik bungsu aku lagi ada di purwakarta karena lagi
ujian akhir.
Kata-kata papa terakir saat itu adalah dia
bilang dengan susah payah “bung..tabung..pen..simpen. Mama langsung nyuruh papa
buat istigfar dan saat itu juga papa dengan lancer bilang
“astagfirullahaladzim”
Dari kata-kata terakir istigfar papa, setelah
itu papa koma dan gak sadarkan diri lagi. Aku mama vinta dan a iki panik. Semua
dokter berdatangan sekitar 5 dokter dan banyak perawat bawa alat-alat bantu.
Mulai dari alat bantu pacuu jantung. Alat oksigen ganda. instubasi, pipa
rongga, selang hidung, selang tenggorokan, kateter, infusan kaki, tangan.
Semuanya.
Waktu itu dokter bilang kalo kondisi papa drop dan harus masuk ICU. Sedangkan
ICU penuh dan harus nunggu salah satu yang keluar dari ICU. Alarm di lorong
rumah sakit bunyi gak berhenti-berhenti nandain kalo ada salah satu pasien yang
butuh pertolongan dan dalam keadaan darurat. Satu persatu sodara-sodara
berdatangan.
Tangan papa semakin dingin. Tapi mata papa masih
bias ngedip dan sesekali ngangguk waktu tangannya aku genggam. Bergantian aku
dan mama ngebisikin kalimat-kalimat syahadat di telinga papa dan mata papa
ngeluarin air mata. Seperti mimpi buruk dan pengen cepet bangun dari mimpi,
saat itu yang aku rasain. Aku gak mau hal buruk terjadi aku gak mau papa pergi
aku mau papa sehat. Ya allah tolong jangan ambil papa , Cuma itu yang bias aku
mohon kepada Allah SWT sang pencipta dan pemberi kehidupan.
Papa koma sekitar jam 11 malem sampe menjelang
pagi. Adik aku dan om serta sodara-sodara yang lain nyusul begitu tau papa
koma. Kalo dipikir-pikir papa bertahan mungkin pengen ketemu sama adik bungsu
aku sebelum pergi buat selama nya.
Klik
Tiiiiiiit ..toooot
Tiiiiiiiiit...toooooottt
Suara mesin yang ada di badan papa.
Bergantian aku dan mama masih ngebisikin kalimat
syahadat ke telinga papa yang waktu itu masih mampu meski lemah menatap kami
semua di ruangan . Iya. Papa masih bertahan. Tapi
papa mungkin masih sadar atau papa mungkin minta waktu sama allah buat ketemu
anak bungsu nya. Iya. Vinta.
Adiku yang paling kecil. Vinta datang dan segera menghambur ke pelukan papa
yang terlentang tak berdaya. Ketika
diruangan mama gak ada karena lagi ketemu dokter dan bilang kalo kondisi papa
tinggal beberapa jam lagi dan harus tabah.
Papa inget gak ? Waktu itu teteh yang ada di
samping papa :") suster yang sedang mengukur keadaan papa yang belum
beranjak dari jam 11. Saat itu teteh merhatiin dengan detail angka denyut
jantug dan nadi. Dari mulai 120
88,
84,
24.
Sampai akirnya . . . 0.
Iya nol.
Sus ! kok angka nya nol ? ini kenapa ?
Suster dengan panic langsung manggil dokter,
suara emergency berbunyi dan semua perawat yang ada di lantai 8 berdatangan
serempak ke kamar 808. Kondisi papa waktu itu mungkin udah gak ada, tapi
perjuangan papa buat bertahan sampai detak jantung nya nol buat nunggu vinta
adik aku yang paling kecil. Iya, Vinta. Ahhhhh papa, begitu berat perjuangan
mu.
Dokter yang langgung melakukan pacu jantung demi
memompa kembali jantung papa selama lima menit. Suara bising sirine yang masih
terus terdengar dan kelap kelip lampu sirine warna merah masih teringat jelas.
Dokter menghampiri mama yang sudah lemas tak berdaya. "Bu kami mau
melakukan tindakan CPR apa keluarga bersedia ? "
Kami mengiyakan dokter untuk melakukan kemampuan
terbaiknya. Tindakan CPR dilakukan yaitu tindakan dengan cara memompa jantung
secara manual dengan menekan rongga dada pasien. CPR dilakukan dan salah
seorang perawat naik keatas kasur dan memompa dada papa dengan harapan jantung
papa kembali bersama kami. Ingin rasanya saaat itu aku terbangun seolah olah
ini hanyalah mimpi tapi sayang Allah berkenhendak lain dan ini adalah
kenyataan, Allah memberikan haidah terindah dengan caranya yaitu “kesembuhan
papa” dan papa tidak harus merasa “sakit’ lagi.
Segala macam tindakan telah diupayakan demi
kesembuhan papa. Namun hingga tindakan manual cpr pun tidak dapat membawa papa
kembali pada kami semua. Dokter
menghampiri aku dan mama kemudian bilang. "Mohon maaf ibu bapak sudah
tidak ada kami sudah melakukan upaya semaksimal mungkin kami mohon maaf"
Saat itu semua menjerit dan histeris .
Papa pergi....
Iya.... pergi
Papa pergi ninggalin kami semua. Sakit rasanya. Ngilu di ulu hati. Sakit. Sesak napas dan semua berasa
runtuh menimpa dalam waktu yang bersamaan. Papa yang selama ini jadi tulang
punggung keluarga pergi begitu saja ninggalin kami semua. Papa yang biasanya
mengkhawatirkan anak gadisnya ketika pulang telat kita gak ada lagi. Papa yang
tanpa banyak bicara namun selalu mengerti apa yang kami butuhkan. Papa sosok
yang kami cintai kini sudah tiada.
Ahh papa, kami merindukan mu papa. Setelah papa
dinyatakan meninggal dunia kami membawa jenazah papa pulang untuk dimakamkan di
Purwakarta. Dengan tidak ingin kehilangan moment terakhir kebersamaan bersama
papa, aku ikut memandikan jenazah papa setiba nya di purwakarta.
Pap, kalo liat waktu itu aku mandiin jenazah
papa. Aku bacain yassin berulang-ulang di sebelah jenazah papa yang terbujur
kaku di tengah ruangan dengan terbalut kain kaffan putih.
Gak ada yang lebih menyakitkan seumur hidup dari
kehilangan orang yang benar benar kita cintai. Keluarga. Papa.
Sedih rasanya ketika kita tau belum sempat
membuat orang tua kita tersenyum dengan bangga dan menjadi apa yang mereka
inginkan namun mereka telah dipanggil telebih dulu. Pesan terakir papa, senyum
terakir papa. Semua. SEMUANYA masih teringat dengan sangat jelas.
Papa...
Sedang apa papa sekarang ?
Teteh, mama, vinta kami semua kangen papa.
Tidur yang lelap ya pap kan udh gak sakit lg
hehe.
Istirahat dalam lelapmu yang abadi.
Jangan pernah merasa kesepian. Kami semua
menyayangimu.
Liat teteh dari surga ya pap.
Teh janji bakalan bikin papa bangga.
Teteh bakal selesaiin s2 teteh.
Teteh bakal dapetin menantu yang bisa bikin papa
bangga hehehe.
Teteh
bakalan jagain vinta dan mamam.
Semua terasa beda setelah papa gak ada, tahlil
demi tahlil, 7 hari, 40 hari, 100 hari, satu taun, semua udah kita lewatin
tanpa papa. Aku janji pap bakalan terus nyempetin waktu buat dating ke makam
papa dan nengokin papa di makam . teteh janji bakalan bawa bunga yang baling
bagus buat ngehiasin makam papa biar papa gak ngerasa sendirian .
Papa, masih bias baca tulisan ini kan ? Peluk
teteh dong pap. Gak apa2 di mimpi juga.
Aku sayang
papa, danti sayang papa, kami semua dsayang papa, kami semua cinta papa.
Sekarang mama pah yang banting tulang buat biayain aku dan vinta. Aku janji
satu taun lagi lulus dari fikom UNISBA dan aku bakalan cepet kerja biar bias
cepet s2 dan biayain vinta sekoolah yang tinggi biar papa bangga disana :”)
Dari kepergian papa aku tau beratnya hidup ditinggal orang terkasih, beratnya
berjuang buat biaya hidup karena papa udah gak ada, beratnya menahan setiap
tangis ketika rindu papa setengah mati. Dari kepergian papa juga aku gak pernah
nyia-nyiain waktu buat pulang ke purwakarta. Sekarang aku duduk di bangku
kuliah semester 6 dan jadwal kuliah yang gak terlalu padat bias memungkinkan
aku buat pulang setiap hari kamis jumat sabtu minggu senin, aku gak akan
sia-siain waktu bareng keluarga aku yang tersisa mama dan vinta. Aku bakalan
hargain setiap kebersamaan bareng mereka. Kepergian papa yang bikin aku tambah
dewasa, tambah mengerti arti cinta yang bukan Cuma cinta alay anak muda tapi
cinta tulus orang tua.
Aku masih punya mereka ketika papa gak ada buat ngasih surprise di hari ulang tahun ke 20 aku
Ini poto yang selalu ada di dompet aku pap, aku sayang papa ..
Sesuai janji aku pap, aku bakalan ngasih bunga yang terbaik. Yang tercantik buat makam papa. Aku sayang papa.
Ilove you pap :’)
Selamat jalan papa, tidur yang lelap dalam istgirahat panjangmu, salam cinta dan kasih dari kami yang mencintaimu dengan sepenuh hati. Dari kami yang merindukanmu setengah mati,
Danti, Vinta, Mama.